Tuesday 26 November 2013

Karya Sastra dan Pendidikan Karakter



Dalam kehidupan seseorang, masa kanak-kanan adalah bagian dasar dalam proses pembentukan banyak aspek dalam kehidupannya sebagai bekal untuk menghadapi masa depan. Salah satu dari sekian aspek itu adalah pembentukan karakter atau kepribadian. Jika masa kanak-kanak dianalogikan dengan sebuah bangunan, maka masa kanak-kanan adalah pondasi suatu bangunan. Dari bagian pondasi itu lah yang akan menentukan kokoh atau tidaknya suatu bangunan, sehingga ia bisa menahan beban dari bagian-bagian lainnya dari suatu bangunan yang berdiri. Oleh karena itu, tidak salah jika ada sebuah ungkapan yang mengatakan bahwa anak-anak adalah investasi atau aset bagi kedua orang tua dan bangsa.

Pertengahan tahun 2011 ini, kita pernah disuguhi berita tentang kasus tindakan arogansi yang dilakukan para pelajar dari satu sekolah di Jakarta kepada seorang wartawan, yang akhirnya berujung pada konflik yang menarik perhatian banyak pihak. Dari masalah tindakan pengeroyokan yang dilakukan pelajar tersebut serta krisis moral yang dihadapi bangsa ini (seperti korupsi), akhirnya mengingatkan kita (orang tua, guru, masyarakat) kembali kesadaran akan pentingnya pendidikan karakret.

Pendidikan karakter merupakan proses untuk mengasa budi pekerti yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Dengan ketiga aspek tersebut pendidikan karakter akan berjalan dengan optimal. Oleh karena itu, pendidikan karekter hendaknya ditanamkan sejak dini (di bawah usia 10 tahun) dan dimulai dari keluarga serta sekolah.

Pembangunan karakter sebagai sebuah proses perlu dilakukan secara sistematis dan berkelanjutan. Sebab, lewat pendidikan karakter ini, anak diajak untuk mengasah kecerdasan emosi (emotional quotient). Lewat pengasahan kecerdasan emosi, anak dibimbing untuk memiliki rasa percaya diri, kemampuan bergaul atau bersosialisasi, kemampuan bekerja sama, empati, dan kemampuan berkomunikasi. Kemampuan-kemampuan ini lah yang nantinya akan menjadi power saat mereka mengalami kejatuhan atau kegagalan.

Mengenalkan anak-anak dengan dunia sastra merupakan salah satu cara untuk mengembangkan karakter anak. Misalnya lewat mendongeng, membaca cerpen atau novel yang ceritanya disesusikan dengan umur mereka. Lewat cerita (dongeng) anak diajari tentang nilai kehidupan tanpa harus memerintah atau mendikte. Sehingga anak-anak akan belajar sendiri dan merasa nyaman karena seperti diajak bermain.

Menurut Mgr. Ign. Suharyo, Uskup Agung Jakarta (Kompas, Senin, 12 September 2011), bahwa karakter seorang anak dapat dibentuk melalui kata terima kasih, maaf, dan tolong. Dari kata “terima kasih”, akan tergali nilai menghargai orang lain. Kata “maaf” berguna untuk menyembuhkan cedera batin akibat komunikasi yang tidak baik serta mencerminkan kerendahan hati. Sedangkan kata “tolong” menyiratkan pentingnya keberadaan orang lain. Semuannya itu dapat kita sampaikan ke dalam hati mereka lewat media karya sastra. Baik itu disampaikan lewat dongeng sebagai pengantar sebelum mereka tidur ataupun sebagai bahan bacaan mereka di waktu luang.

Oleh karena itu, di tengah-tengah banyaknya fasilitas (permaian anak) yang lahir sebagai hasil kemajuan teknologi, marilah kita kenalkan karya sastra kepada anak-anak kita sejak dini. Agar ketika dewasa meraka akan menjadi pribadi dewasa dengan karakter yang membanggakan. Kita gunakan kemajuan teknologi itu sebagai median untuk mengemas karya sastra yang ada, misalnya merekan pembacaan dongeng lewat hp ataupun menggunakan jejaring sosial sebagai media untuk mengunggah rekaman dongeng di blog atau media yang lain di tengah ara digital seperti sekarang ini.

No comments:

Post a Comment